Rayni N. Massardi - Penjelajah Berbagai Ranah - Oleh Prasetyohadi Prayitno
Sebagaimana orang berkisah, percakapan memang tidak perlu disiplin ketat dengan struktur runtut. Setting waktu dan setting tempat, bisa berpindah-pindah secara dinamis tanpa tarikan garis lurus - kalau waktu dan tempat boleh dianalogikan sebagai garis. Namun, benang merahnya tidak kusut. Ia bisa berkisah apa saja. Rayni terasa humble ketika bertutur tentang langit, awan, pantai, laut, kota kecil, media sosial, kupu-kupu kecil, eks krim, selai nanas, lembaran roti, SMS, sampai ambulans dan instalasi gawat darurat.
Rayni memiliki naluri wanita yang jeli dalam penggambaran. Bisa detil tentang profil seseorang, dari bentuk wajah hingga helai rambut. Ia terampil merekam gerak-gerik tokoh seperti film gerak lambat, hingga pergulatan batin tokoh utama maupun tokoh-tokoh pendukung yang bersilangan. Gaya bertuturnya renyah, tanpa kening berkerut, dan mengalir lancar dalam kehangatan.
Saya melakukan pembiaran pada diri sendiri ketika membaca novel "Langit Terbuka" ini. Tidak perlu menyiapkan diri untuk menciptakan situasi konflik batin sendiri, dengan mempertanyakan mengapa tokoh Sila mesti begini atau Ruben harus begitu? Saya ikuti saja apa maunya Rayni, melalui tokoh-tokoh ciptaannya. Sesekali ia mampu bersikap tegas - kepada diri maupun tokoh ciptaan - sehingga kadang membuat keputusan yang tak terduga.
Cara saya menikmati novel "Langit Terbuka" karya Rayni N. Massardi ini, justru membukakan kesadaran baru pada saya: ternyata membaca tanpa beban dan persiapan mental, justru lebih mengasyikkan. Saya jadi sering mendapatkan simpulan-simpulan baru, seperti oo ... jadi seperti ini? ... maumu begitu?
Membaca novel "Langit Terbuka", saya mendapat kesan Rayni adalah sosok pengelana dari satu tempat ke tempat favorit lain. Cekatan berpindah dari satu kota kecil ke kota besar, satu negeri ke negeri berikutnya. Cara memberi referensi tokoh sering dikaitkan dengan profesi seseorang, sangat lengkap. Kadang malah berlebihan. Nyaris tidak ada masalah finansial pada para tokoh.
Rayni bukan hanya berkelana fisik, tapi juga menjelajah ke ranah sosiologi perkotaan. Rayni, penulis matang yang termasuk 'Angkata Lama', kalau penulis diizinkan masuk kategori waktu, meskipun angkatan tidak relevan. Ia tidak terjebak pada gaya menulis 'lama' yang prototipe berkutat konflik sosial, agraris, kecemburuan sosial, drama rumah tangga, dan seputarnya. Rayni mengolah kondisi dan sosiologi perkotaan yang lekas berubah, metropolis, namun mengutamakan keluarga inti sebagai sentral cerita "Langit Terbuka".
Rayni juga penjelajah ranah psikologi yang asyik, dan boleh jadi ia sendiri tidak menyadari. Tersirat, tokoh utama Sila mengidap semacam OCD (obsessive compulsive disorder) dalam kadar ringan. Ada desakan batin yang tergambar lewat tokoh Sila ketika berhadapan dengan tokoh lain seperti Ruben, dan terutama tokoh Sigap. Ketika menghadapi situasi tertentu, Sila mengalami obsesi, cemas, kompulsi, kadang lega. Pikiran Sila dikuasai rasa takut dan cemas, yang bisa memancing aksi kompulsi untuk melakukan sesuatu agar kecemasan berkurang. Penjelajahan ini akan lebih seru lagi kalau Rayni mau mengeksplorasi ranah psikologi. Ya, mungkin pada novel-novel berikutnya.
Rayni juga memasuki ranah misteri, dengan tokoh aneh Sigap, yang tidak pasti latar belakangnya. Mungkin mahluk asing, hantu, atau kembarannya? Namun Sila bisa menerima lega dan memanggilnya Mr. Time. Justru Sila begitu menikmati hidup bersama Sigap dan Ruben di rumah indah di tepi pantai di kota kecil. Pertemanan mereka unik - kadang lucu - disertai konflik internal. Rayni juga piawai memasuki ranah-ranah lain seperti pariwisata, kuliner, arsitektur, tata kota, dengan perspektif yang lebih luas, seperti lautan.
Saya menangkap kesan mendalam pada Rayni, ia menulis novel "Langit Terbuka" tanpa pretensi harus menjadi novel besar, karya monumental, atau katakan mesti tercatat dalam Sejarah Sastra Indonesia, sejarah dengan S besar. Ia justru menulis apa yang jadi obsesi yang didorong oleh desakan batinnya. Rayni menulis enak-enak saja, mengalir lancar, dan bisa rinci serta detil ketika menggambarkan situasi alam maupun latar belakang seseorang tokoh.
Ia juga mampu menggambarkan situasi batin tokohnya dengan opini pribadi yang lengkap kadang dalam porsi berlebih. Penuturannya cukup cerdas dan cekatan, dengan bahasa lugas tanpa berbelit-belit, meskipun sering menggunakan ungkapan bahasa asing, Prancis maupun Inggris. Ia tidak meracik kalimat dalam standar Bahasa Indonesia baku yang baik dan benar, dengan editing ketat. Memang, novel boleh leluasa dalam mengekspresikan bahasa.
Kalau pun saya mesti menyingkap 'keganjilan' dalam novel ini, adalah mudahnya 'mematikan' tokoh sepeti Bima pacar Sila, misalnya, tanpa alasan yang kuat. Hanya korban tabrakan di jalan sepi. Lainnya? Ini subyektif sisi dunia laki-laki semata. Saya tidak menemukan bumbu penyedap, yakni adegan sex sebagai pelengkap penyemangat cerita. Baik adegan filmis mendebarkan maupun metafora yang menggugah kelelakian. Boleh jadi Rayni memang ingin menjadi sosok ibu - dan nenek - yang santun dengan manner tertib rapi.
Saya justru ingin bertanya secara pribadi kepadanya: jangan-jangan lewat tokoh utama novel "Langit Terbuka" - maupun melalui novel ini - sebenarnya Rayni sedang mengisahkan obsesi kehidupannya sendiri. Benarkah?
Terima kasih
Prasetyohadi
Cerpenis, wartawan, pemimpin redaksi majalah 'Kicau Bintaro', dosen bidang komunikasi dan public relations di InterStudi, Jakarta.
Label: buku, langit terbuka, novel, prasetyohadi prayitno, rayni n massardi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda