<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d3221512431424559915\x26blogName\x3dInfoGaya+Harian\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://infogaya-harian.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://infogaya-harian.blogspot.com/\x26vt\x3d-2793316161249639392', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Jumat, 03 Juli 2015

Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Sensor Film

InfoGaya Jakarta, Kamis 2 Juli 2014 - Lembaga Sensor Film selenggarakan diskusi bersama pelaku kegiatan perfilman dengan tema "Meningkatkan Pertahanan Dan Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Sensor Film."

Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Koordinasi Lembaga Sensor Film Dengan Pelaku Kegitatan Perfilman di buka oleh ketua Lembaga Sensor Film, H. Anwar Fuadi, SH., MH, yang bertempat di Gedung Film Jl. MT Haryono 47-48 Jakarta.

Sebagai pengisi materi, diskusi dan tanya jawab diikuti oleh Anggota Lembaga Sensor Film Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Produser Film Zairin Zain, Praktisi Film dan Pengajar di IKJ Hadiartomo, M.Sn. dan perumusan diskusi oleh Dra. Rita Srihastuti,

Dan diskusi ditutp kembali oleh Ketua Lembaga Sensor Film H. Anwar Fuadi, SH., MH, Selanjutnya Prof. Dr. H. Artani Hasbi selaku Anggota LSF dari unsur Nahdatul Ulama, melakukan Kultum dan Doa, yang dilanjutkan degan berbuka puasa bersama dan Sholat Maghrib.

Materi diskusi diawali oleh Anggota Lembaga Sensor Film Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Guru Besar Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta. Materi Ridwan Lubis merupakan hasil dari Pertemuan Silaturrahni Wakil Majelis-Majelis Agama bersama Media Massa dan Insan Perfilman.

Sementara Produser Film Zairin Zain mengungkapkan keluhannya dengan isi materi yang dipaparkan oleh Prof. D. H.M Ridwan Lubis. Sebagai pembuat film merasa terkekang oleh pasal-pasal yang dipaparkan, walaupun demikian Zairin Zain tetap menyetujui keberadaan Lembaga Sensor Film tersebut.

Acara diskusi yang di moderatori oleh Drs. Nyoman Widi Wisnawa tersebut juga memaparkan dari sisi Praktisi Film dan sekaligus Pengajar di IKJ, Hadiartomo, M.Sn tentang Lembaga Sensor Film sebagai Ketahanan Budaya Bangsa.

Antara Gunting Tajam Dan Pikiran Tajam
Film dapat didefiniskan sebagai produk representasi kebudayaan. Setiap kebudayaan tentu memiliki akar budaya. Akar budaya ini sebenarnya hanya ada dua saja, yang satu besifat wahyu, yaitu agama. Sementara satu lagi bersifat ideologis buatan manusia. Jika film diyakini sebagai produk kebusadayan, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan akar kebudayaannya tesebut dan harus di lindungi dalam peaturan perundang-undangan.

Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian film tidak bebas nilai karena memiliki seuntai gagasan vital dan pesan yang dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang yang terorganisasi. Itulah sebabnya, film merupakan pranata sosial yang memiliki kepribadian, visi dan misi yang akan menentukan mutu dan kelayakannya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan dedikasi orang-orang yang bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan sumber daya lainnya. Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat melalui film.

Film dapat dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan dan bercermin untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikontruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyarakat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi. Dalam kasus film sebagai produk representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

Film dibuat di dalam negeri dan dapat diimpor dari luar negeri dengan segala pengaruhnya. Film yang dibuat di dalam negeri dan film impor dari luar negeri yang beredar dan dipertunjukkan di Indonesia ditujukan untuk terbinanya akhlak mulia, terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan berkelanjutan. Film Indonesia yang diekspor terutama dimaksudkan agar budaya bangsa Indonesia dikenal oleh dunia internasional. Itulah sebabnya film sebelum beredar dan dipertunjukkan di Indonesia wajib disensor dan memperoleh surat tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga sensor film. Sensor pada dasarnya diperlukan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dari adanya dorongan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta penonjolan pornografi, penistaan, pelecehan dan / atau penodaan nilai-nilai agama atau karena pengaruh negatif budaya asing. Penyensoran dilaksanakan dengan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah.

Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor.

Selain masyarakat wajib dilindungi dari pengaruh negatif film, masyarakat juga diberi kesempatan untuk berperan serta dalam perfilman, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Peran serta masyarakat dilembagakan dalam badan perfilman Indonesia yang dibentuk oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh Pemerintah. Badan tersebut mempunyai tugas terutama meningkatkan apresiasi dan promosi perfilman. Mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan perfilman, lembaga sensor film dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tugas dan wewenang dalam memajukan dan melindungi perfilman Indonesia.

Mengutip berita Tempo, Senin 29 Juni 2015, Komisi Pertahanan dan Infromasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)_ telah mengantongi 17 nama calon anggota LSF yang baru. Selamat pada anggota LSF yang baru, tugas telah menanti. Tugas sudah terhampar pada ketentuan dalam Undang-Undang. Dengan melalui proses fit proper test anggota DPR Komisi I dalam proses seleksinya tentu memperhatikan konpetensi dari setiap calon anggota LSF.

Bekal ilmu perfilman film dan disiplin persilatan industri film bagian penting mengingat, Indonesia adalah negara hukum memberi perlindungan kepada warganya melalui pelaksanaan hukum dan undang-undang yang khusus dibuat untuk tujuan perlindungan tertmaksud. Tugas penegakan dan pelaksanaan ketentuan undang-undang perlindungan masyarakat ini sudah diserahkan pada instansi-instansi yang dalam tatanan keanekaragaman sudah diberi kewenangan untuk hal itu. Kewenangan itu ditugaskan kepada Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak awal abad ke-19, lembaga ini dibentuk dari zaman ke zaman denga nama dan dasar hukum yag berbeda.

LSF mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan / atau penayangan film dari reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia;

b. memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia;

c. memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tertsebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan / atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pegambilan kebijaksanaa kearah pengembangan perfilman di Indonesia.

Untuk melaksanakan  fungsinya, LSF mempunyai tugas:

a. melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan kepada umum;

b. meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertujukkan dan / atau ditayangkan;

c. menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemaha dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan.

Sesuai dengan PP-RI No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, dalam pasal 6 mempunyai tugas:

a. melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan / atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan

b. melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan / atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.

Dalam Pasal 7 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, LSF mempunyai fungsi:

a. perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia;

b. penyusunan pedoman penerbitan dan pembatalan surat tanda lulus sensor;

c. sosialisasi secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan iklan film agar dapat menghasilkan film dan iklan film yang bermutu;

d. pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film;

e. pembantuan pemilik film dan iklan film dalam memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu; dan

f. pemantauan apresiasi masyarakat terhadap film dan iklan film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan / atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijakan kearah pengembangan perfilman di Indonesia.

Pasal 8 - LSF mempunyai wewenag :

a. penentuan penggolongan usia penonton;

b. pengembalian film dan iklan film yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria penyensoran untuk diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film;

c. penyensoran ulang (re-censor) film dan iklan film yang sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film sesuai pedoman dan kriteria penyensoran;

d. pemberian surat tanda lulus sensor yang dibubuhkan untuk setiap kopi-jadi film dan iklan film yang dinyatakan telah lulus sensor;

e. pembatalan surat tanda lulus sensor;

f. pengusulan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perfilman; dan

g. pelaporan kegiatan sensor film dan iklan film baik yang lulus dan yang tidak lulus sensor kepada Presiden melalui Menteri secara periodik.

Dalam Undang-undang perfilman yang baru wewenang LSF untuk memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan / atau ditayangkan kepada umum ditiadakan karena dalam undang-undang yang baru pelaku usaha perfilman melakukan self sensor.

LSF mengembalikan film yang mengandeng tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki. Penyensoran film dan reklame film dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan / atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.

Era telah berubah, ketika gunting sudah tidak boleh bicara maka kemampuan argumentasi dengan menggunakan pikiran tajam dari setiap anggota sensor dalam memutuskan keputusannya harus dapat diakomondir berbagai pihak, terutama pihak produser dan penonton. Penyensoran dilaksanakan atas dasar prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor yaitu pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, perwakilan diplomatik atau badan internasional yang diakui Pemerintah.

Film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor.

Setelah melalui berbagai proses LSF dapat menerbitkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Setiap kopi edar harus dilengkapi dengan STLS, seperti yang tertera pada wewenang LSF. Hal ini dapat diartikan ketika kopi film telah mendapat STLS maka segala akibat dari diedarkannya film tersebut menjadi beban LSF. Seluruh beban Produser dan para pembuat film ketika STLS telah menempel disetiap kopi maka mereka terbebas dari tuntutan masyarakat secara hukum. Tentu ini bukan tugas yang ringan.

MENINGKATKAN PERTAHANAN DAN KETAHANAN BUDAYA BANGSA MELALUI SENSOR FILM
Oleh M Ridwan Lubis
Pertemuan Silaturrahmi Wakil Majelis-Majelis Agama, Media Massa dan Insan Perfilman
Jakarta, 2 Juli 2015

Dasar
  • UUD 1945 Pasal 5 ayat (2)
  • UU No. 8 Taun 1992 tentang Perfilman
  • PP No. 7 Tahun 1994 tentang lembaga Sensor Film
  • Penjabaran Pasal 33 dan 34 UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang menyatakan perlu membentuk lembaga Sensor Film
  • UU No. 33 Tahun 2009 tentang perfilman dan PP No. 18 Tahun 2014 tentang Kewenangan LSF tidak ada lagi kewenangan LSF memotong film oleh karena itu tergantung kemampuan masyarakat melakukan swa-sensor
  • Semua tata per-uu-an didasarkan secara ideal pada Pancasila oleh karena itu setiap film yang ditayangkan diharapkan memperkuat internalisasi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika
Perkembangan Global Perfilman
  • Sejalan dengan terjadinya percepatan dalam bidang 3 T (transportasi, telekomunikasi dan turisme) maka film juga mengalami perubahan yang sangat cepat
  • Perubahan yang paling nyata adalah terjadinya digitalisasi pada sektor film yang ternyata lebih cepat perkembangannya dari perkiraan semula
  • Pada satu sisi film bersifat positif karena sebagai media pembelajaran dan hiburan tetapi pada sisi lain berdampak negatif karena mendorong pola hidup konsumtif, pragmatik, hedonistik yang berakibat kecenderungan terjadinya deviasi-endemik
  • Aspek lain terjadinya ketertundaan budaya (cultural lag) sementara masyarakat belum siap menerima perubahan itu
Data Ringkas Perfilman
  • Jumlah stasiun Televisi seluruh Indonesia 764 buah
  • Paling banyak berada di Jawa Barat menyusul Jawa Timur
  • Layar bioskop berjumlah 870 buah
  • Provinsi yang belum memiliki layar bioskop terdapat pada 10 daerah
  • Akan tetapi masyarakat memperoleh informasi perfilman bukan hanya dari bioskop atau TV namun juga dari berbagai jaringan TV lokal, internet, kepingan CD yang bebas diperjual belikan yang lolos dari jangkauan Lembaga Sensor Film
Sensor Film
  • Penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film, untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan / atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu
  • Reklama film: sarana publikasi dan promosi film, baik yang berbentuk trailer, film ikklan, iklan, poster, still photo, klise, banner, pamflet, brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan promosi lainnya
Film
  • Karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi pandang yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertujukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan atau lainnya.
Tanda Luslu Sensor
  • Surat yang dikeluarkan Lembaga Sensor Film bagi setiap copy film, trailer serta film iklan, dan tanda yang dibutuhkan oleh LSF bagi reklame film, yang dinyatakan telah lulus sensor
  • Tanda Tidak Lulus Sensor adalah surat yang dikeluarkan oleh LSF bagi setiap copy film, trailer serta film iklan, dan tanda yang dibubuhkan oleh LSF bagi reklame film yang dinyatakan tidak lulus sensor.
Fungsi LSF
  • Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam perederan, pertunjukan dan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah dan tujuan perfilman Indonesia.
  • Memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia
  • Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan dan atau ditayangkan dan menganalisa hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan atau disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan kebijaksanaan ke arah pengembangan perfilman di Indonesia.
Tugas LSF
  • Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan kepada umum
  • Meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan
  • Menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan / atau ditayangkan.
Wewenang LSF
  • Meluluskan sepenuhnya
  • Mendorong penguatan budaya swa-sensor
  • Menolak suatu film
  • Memberikan Surat Lulus Sensor
  • Membatalkan surat atau tanda lulus sensor
  • Memberikan surat tidak lulus sensor
  • Menetapkan penggolongan usia penonton film
  • Menyimpan / memusnahkan potongan film
  • Mengumumkan film impor yang ditolak
Tujuan Penyensoran
  • Mencegah agar film tidak mendorong khalayak kepada:
    1. Bersimpati terhadap idiologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
    2. Melakukan perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral
    3. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan perbuatan melawan hukum lainnya
    4. Bersimpati ternadap satu agama yang dapat merusak kerukunan hidup antar umat beragama.
  • Penyensoran yang bertujuan sebagai sarana pemelihara tata nilai dan budaya bangsa agar dapat terjaga dan berkembang
  • Penyensoran sebagai mata rantai permbinaan guna menumbuhkan kemampuan untuk mengendalikan diri di kalangan insan perfilman dalam berkarya, berkreasi sebagai wujud tanggung jawab kepada masyarakat.
Segi Penyensoran:
Keagamaan
  • Melakukan sensor terhadap tayangan yang bertentangan dengan (1) doktirn akidah / teologi (2) ibadah / ritual dan (3) akhlak / nilai moral berdasar ajaran agama
  • Film yang memberi kesan anti Tuhan: anti agama, dapat merusak kerukunan umat beragama; mengandung penghinaan terhadap salah satu agama; mempertajam konflik keagamaan seperti mempertentangkan aliran / mazhab
  • Penyimpangan terhadap tradisi yang menjadi budaya umat beragama tertentu dan telah terlembagakan dalam kehidupan umat yang bersangkutan
  • Pelecehan terhadap Praksis Agama yang telah diterima masyarakat sebagai turunan dari ajaran agamanya
Ideologi dan Politik:
  • Mengandung propaganda anti Pancasila & UUD 1945; mengandung ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme; mengarahkan penonton kepada hal tersebut; merangsang timbulnya ketegangan sospol; dapat melemahkan ketahanan nasional atau merugikan kepentingan nasional
  • Penghinaan terhadap simbol maupun institusi negara yang telah dijamin kehormatannya oleh Undang-Undang
Sosbud
  • Film yang dapat merusak norma kesopanan umum; ejekan terhadap adat istiadat tertentu; merugikan dan rusak akhlak dan budi pekerti masyarakat; berikan gambaran keliru terhadap perkembangan sosial budaya di Indonesia; mengarahkan simpati penonton terhadap perbuatan amoral
Ketertiban Umum
  • Mempertontonkan adegan kejahatan yang mengandung modus operandi rinci kejahatan; dorongan penonton bersimpati kepada kejahatan; kemenangan kejahatan
  • Memperlihatkan kekejaman
  • Menitik beratkan cerita pada adegan seks,
  • Mendorong sentimen SARA
Urgensi Perfilman
  • Media komunikasi: terjadinya pertukaran budaya sehingga masyarakat semakin cerdas dan kritis
  • Media informasi: terjadinya persebaran informasi pembangunan ke seluruh pelosok daerah
  • Media edukasi: melakukan pendidikan kepada masyarakat dan mendorong peningkatan etos kerja yang dinamis, kreatif dan inovatif sehingga cepat terjangkau sampai ke segenap penjuru wilayah
  • Media rekreasi: melakukan penghibuarn kepada masyarakat sehingga mereka menjadi produktif dalam bekerja
Dampak Film Sebagai Tontonan
  • Sebuah tontonan yang bersifat audio-visual seperti film sangat memberi pengaruh dan melekat pada memori seorang anak oleh karena itu memerlukan keikutsertaan orang tua untuk melakukan seleksi terhadap jenis tontonan yang patut ditonton
  • Sikap permissif keluarga terhadap jenis tontonan akan mempengaruhi kejiwaan anak yang akan berkesan sampai dewasa
  • Oleh karena itu diperlukan partisipasi yaitu kehati-hatian serta bimbingan keluarga di dalam mendampingi seorang anak ikut menonton film
Manfaat Film Bagi Pembangunan
  • Pengembangan Kemandirian (self reliance) bangsa sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupannya dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
  • Pengembangan Demokrasi (democracy) yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat sementara pemerintah hanya sebagai pemegang amanah rakyatnya.
  • Pemantapan Persatuan nasional (national unity) yaitu bangsa yang majemuk namun diikat oleh semangat kesatuan dalam kebhinekaan sehingga memiliki ketangguhan menghadapi penetrasi budaya.
  • Peningkatan Martabat internasional (bargaining position) yaitu bangsa memiliki posisi tawar dalam pergaulan antar bangsa
  • Perfilman yang positif dapat ikut memperkuat program pembangunan karakter dan bangsa (national and character, building)
Nilai Agama Terhadap Film
  • Agama memandang film sebagai kegiatan yang bisa berdampak positif dan negatif oleh karena itu hukum asalnya mubah namun dapat berubah menjadi wajib, haram, sunat dan makruh sesuai dengan kondisinya
  • Dampak positif film adalah menjadi sarana dakwah, tarbiyah dalam rangka memperkuat akidah, ibadah dan akhlak umat beragama
  • Dampak negatif film adalah lunturnya keteguhan akidah, ibadah dan akhlak akibat dari tayangan film yang tidak sesuai dengan martabat manusia
Penetrasi Budaya Melalui Film
  • Dampak globalisasi membawa kemudahan dalam pertukaran budaya
  • Bangsa yang lemah komitmen budayanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya asing sehingga mereka berada dalam posisi konsumen budaya asing
  • Penetrasi budaya asing tidak lagi melalui jalur konvensional oleh karena itu tidak dapat dibentengi secara meterial
  • Perlindugan budaya hanya dapat dilakukan dengan membangkitkan kesadaran internal warga masyarakat
Penguatan Nilai Keberagaman
  • Kelurga hendaknya dapat membimbing anak-anaknya dalam melakukan seleksi terhadap film yang dipandang layak atau tidak layak untuk ditonton
  • Film yang bertandakan R-BO (remaja dengan bimbingan orang tua) artinya film untuk remaja namun untuk menontonnya memerlukan bimbingan orang tua untuk menjelaskan alur dan simpul cerita sebuah film
  • Pada film tertentu seorang anak tidak bisa dilepaskan untuk menonton tanpa didampingi orang tua agar mereka mengetahui segi positif dan negatif sebuah tayangan film
Harapan Terhadap Majelis Agama
Memberikan dukungan terhadap kinerja LSF dengan cara
(1) mengajukan usul kongkrit terhadap konsep perfilman yang sesuai dengan ajaran agama tertentu
(2) melakukan kritik yang sifatnya konstruktif / edkukatif terhadap berbagai tayangan film sebagai pegangan bagi LSF dalam melakukan penyensoran
(3) ikut membangun opini di masyarakat tentang pentingnya keberadaan film yang baik sebagai media komunikasi, informasi, edukasi dan rekreasi
(4) menjadikan film sebagai bagian dari upaya membanngun semangat religiositas

Harapan Terhadap Media Massa
  • Ikut memperkuat peranan film sebagai bagian dari media komunikasi, informasi, edukasi dan rekreasi
  • Ikut membangun publik opini tentang perlunya dikembangkan kreativitas dan inovasi di bidang perfilman sebagai salah satu pemeran juru bicara budaya bangsa
  • Ikut mendorong masyarakat / keluarga agar memiliki kepedulian terhadap swa-sensor sehingga tercipta kemampuan keluarga memelihara kesinambungan budaya sekaligus siap menerima perubahan yang positif
Harapan Terhadap Insan Perfilman
  • Terus mengembangkan kreasi visualisasi terhadap khazanah budaya bangsa seperti epos kepahlawanan, keemiminan pemuka agama dan budaya, kreativitas intelektual yang dapat merangsang tumbuhnya semangat kreativitas dan inovasi di kalangan masyarakat
  • Terus berupaya meningkatkan mutu produksi film yang dapat memadukan unsur bisnis, edukasi, penguatan solidaritas nasional sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap film impor
  • Membangun kerjasama dengan berbagai simpul sosial guna menghasilkan tontonan yang minim dengan kontroversi dan sebaliknya menjadi tayangan film yang bermutu
  • Menggagas berbagai film agar konsep kemajuan bangsa Indoensia hendaknya dapat bergeser dari keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif.
Terima Kasih
Terselenggaranya Jalinan Silaturrahim Pemuka Agama, Media Massa dan Pelaku Perfilman
Mohon Maaf Lahir Dan Batin
Jakarta, 2 Juli 2015

Label: , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda